Rabu, 01 April 2009

Deklarasi Hari Penyiaran Nasional

Hari ini, tanggal 1 April 2009 adalah hari yang menyegarkan bagi seluruh PNS di Lingkungan Pemerintah Kota Surakarta. Selain mendapatkan kenaikan gaji sebesar 15% dari Pemerintah, mereka juga memperoleh rapelan kenaikan gaji sejak bulan Januari 2009. Tapi bukan itu saja, hari ini adalah hari yang bisa menjadi sejarah bagi kota Solo. Hari ini , tepatnya jam 11.30 WIB, telah dibacakan Deklarasi Hari Penyiaran Nasional.

Sebagai wakil rakyat Surakarta, Ir. Hariadi Saptono selaku Ketua DPRD Kota Surakarta telah membacakan deklarasi tersebut disaksikan Mbah Gesang, Ibu Waljinah dan sejumlah tokoh penyiaran. Pada kesempatan ini pula juga dideklarasikan Sri Mangkunegoro VII sebagai Bapak Penyiaran Indonesia. Mengapa tanggal ini menjadi pilihan?
Pada hari Jum'at, 1 April 1933 pukul 7 malam telah diseleggarakan rapat di Gedung Societe Sasono Suko Surakarta (sekarang Museum Pers Nasional) yang intinya menyepakati pendirian sebuah perhimpunan radio omproep (omproep=siaran), tidak sekedar membeli alat baru, melainkan mendirikan stasiun radio baru yang profesional dan lahirlah Solosche Radio Vereeniging (SRV). Salah satu tokoh yang mempunyai peran penting adalah Sri Mangkunegoro VII. Dengan upaya banyak pihak, beban biaya pembelian pemancar yang saat itu sangat mahal dapat dimiliki dan hadir di Solo pada hari Sabtu Kliwon, 5 Januari 1934 (sementara ditempatkan di Pendapa Kepatihan Mangkunegoro).
Pembangunan Gedung SRV dilaksanakan di atas area seluas 5000m2, di Kestalan , di dekat Stasiun Balapan (peletakan batu pertama pada tanggal 15 September 1935 oleh Putri Mangkunegoro VII, BRAj Siti Koesoemowardhani, dikenal sebagai Gusti Nurul). Pembangunan ini bukanlah sebuah proses yang mudah karena tingginya biaya. Sekali lagi Sri Mangkunegoro lah yang tampil sebagai tameng.
Prestasi hebat SRV telah diukir sekitar tahun 1937. SRV telah melangsungkan siaran langsung ke luar negeri untuk yang pertama yaitu di Negeri Belanda. Pada pesta pernikahan pernikahan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard (Putri RAtu Wilhemina), Sri Mangkunegoro memberikan hadiah istimewa berupa pertunjukan tari Bedaya Serimpi yang dibawakan sendiri oleh Gusti Nurul dengan iringan gamelan langsung dari Solo.
Melihat dari sejarah tersebut, tampaknya sejumlah insan penyiaran di Solo tergerak untuk mendeklarasikan 1 April sebagai Hari Penyiaran Nasional dan Sri Mangkunegoro sebagai Bapak Penyiaran Indonesia.

Selengkapnya...

Selasa, 31 Maret 2009

Pasar Gedhe Hardjonagoro

Bangunan tua itu dikenal sebagai Pasar Gedhe oleh masyarakat Solo. Dulu Pasar ini adalah sebuah pasar kecil yang didirikan di atas lahan seluas 10.421 hektar. Lokasi nya yang terletak di persimpangan jalan dari kantor gubernur (kala itu), sekarang Balai Kota Surakarta, membuatnya menjadi tempat yang strategis untuk bertransaksi.
Disainer dari bangunan ini adalah seorang Belanda, Ir. Thomas Karsten. Selesai pada tahun 1930 dengan nama Pasar Gedhe Hardjonagoro. Nama 'Gedhe' konon diambil karena terdiri dar iatap yang besar. Seiring dengan waktu, pasar itu kini menjadi pasar termegah di Kota Surakarta.
Pasar ini terdiri dari dua banguna yang terpisahkan oleh Jalan Urip Sumoharjo. Masing-masing bangunan itu terdiri dari dua lantai. Perpaduan arsitektur antara gaya Belanda dan tradisional membuat pasar ini tampak eksotis.
Menurut sejarah, pada tahun 1947 pasar ini mengalami kerusakan yang cukup parah karena serangan Belanda. Pemerintah Indonesia memperbaikinya kembali pada tahun 1949. Atap yang lama diganti dengan atap kayu, dan bangunan kedua dari Pasar Gedhe, difungsikan menjadi pasar buah.


Selengkapnya...

Jumat, 26 September 2008

Solo oh...Solo

Solo adalah kota budaya. Kota ini terletak di bagian timur Provinsi Jawa Tengah. Komposisi yang multirasial menunjukkan keragaman penduduknya. Namun demikian orang Jawa mendominasi kota ini, sehingga secara bersama-sama mereka nampak menonjol pada tradisi khas budaya Jawa. Pelbagai sebutan disematkan pada Kota Solo antara lain kota batik, kota priyayi, kota langgam dan campur sari, kota wayang Indonesia dan lain-lain. Bahkan akhir-akhir ini disebutkan bahwa Solo adalah the spirit of Java. Terlepas dari pelbagai predikat di atas, sudah saatnya segenap warga Solo memberikan bukti nyata bukan hanya angin lalu atau kabar bohong belaka. Salah satu cara memberi bukti nyata tadi adalah dengan memfungsikan dengan baik dan benar fasilitas-fasilitas Kota Solo dan terlebih lagi memeliharanya.Dari kacamata positif, budaya Jawa yang adi luhung ini akan membentuk karakter orang Solo yang selalu bijaksana, serta cinta sesama dan lingkungan. Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat patembayan. Masyarakat yang memperhatikan pernak-pernik sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu masyarakat Jawa dikenal sifat religiusnya. Kedua sifat tersebut dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan sosial masyarakat, sebagai contoh kegiatan malam 1 Sura, sekaten, sepasaran bayi dan lain-lainnya. Rupanya budaya ini sampai sekarang masih hidup di tengah-tengah praktik kehidupan masyarakat bahkan terpelihara sebagai tradisi wong Solo. Sekarang ini sudah saatnya warga Solo memberi ruang pada tradisi-tradisinya yang adi luhung tersebut, untuk muncul menjadi daya tarik yang khas yang mampu memberi warna tersendiri pada khasanah budaya bangsa Indonesia.Solusi MenarikSaat ini Kota Solo sedang giat menata kota. Gedung-gedung tinggi dan mal-mal tumbuh memenuhi area-area di Kota Solo. Bahkan pasar-pasar tradisional berubah menjadi pasar-pasar modern. Kota Solo berubah menjadi hutan belantara dari gedung-gedung beton. Lambat laun budaya Jawa akan terkikis menjadi budaya metropolis. Kehidupan kota yang angkuh dan kaku akan segera mengganti kehidupan guyub rukun masyarakat Jawa. Bila gedung-gedung beton yang dibangun sekadar mengejar aspek-aspek ekonomi saja atau bahkan demi mengejar prestise semata. Maka alangkah baiknya ada kebijakan Pemkot Surakarta untuk membangun kembali Taman Bale Kambang, Taman Sriwedari, serta yang paling menarik adalah pembangunan City Walk.Pada hakikatnya konsep City Walk menjadi solusi yang menarik dari pelbagai permasalahan masyarakat utamanya masalah terkikisnya budaya Jawa. Alasannya adalah Pertama, City Walk memberi kesan lapang, indah, rapi. Kedua, City Walk memberi ruang yang cukup kepada pejalan kaki, jadi tidak semua ruang dipakai oleh tukang becak dan pedagang kaki lima. Ruang di sepanjang Jalan Slamet Riyadi ternyata banyak digunakan untuk berjualan. Keadaan ini membuat pejalan kaki nyaman dan menambah kesan tertata dan indahnya jalan utama di Kota Solo.Ketiga, City Walk mampu meredam tingkat polusi Kota Surakarta. Memang tampak kolot argumen ini namun sebenarnya tidak, sebab pada kenyataannya polusi udara Kota Solo telah mencapai titik yang rawan juga. Hal ini terasa ketika kita mengendarai sepeda motor mata terasa pedih. Langkah ini sudah ditempuh Pemerintah Provinsi Yogyakarta yaitu menganjurkan para pegawai yang rumahnya berjarak kurang 5 km dari kantor agar berjalan kaki. Tentu saja tindakan ini secara meluas akan menurunkan suhu bumi. Artinya, upaya ini merupakan suatu awal tindakan mencegah global warming.Keempat, salah satu upaya untuk nguri-uri budaya Jawa. Kita tahu banyak tradisi Jawa yang berakar dari jalan kaki. Sebut saja Suronan, banyak warga Solo dan di luar Kota Solo berjalan-jalan sepanjang Slamet Riyadi dan sekitar Keraton Mangkunegaran. Tradisi ini memakan ruang hampir 80% badan jalan. Tentu saja kemacetan lalu lintas akan muncul. Dengan adanya City Walk, hal ini dapat dikurangi.Kesan NegatifNamun demikian keberadaan City Walk harus senantiasa diperbaiki demi kenyamanan, kelancaran, ketertiban dan kemaslahatan bersama. Beberapa hal tentang City Walk memang perlu diperbaiki, antara lain penerangan area City Walk di waktu malam. Seyogianya area City Walk terang pada malam hari sehingga tidak berkesan negatif atau malah dapat dimanfaatkan oleh orang jahat dalam melaksanakan niatnya. PKL dan tukang becak juga harus terus diberi pengertian akan fungsi City Walk. Dari sisi konsep mestinya City Walk tidak dijadikan eksklusif, sebab hal ini justru akan menyebabkan City Walk tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Seharusnyalah fasilitas budaya menjadi milik masyarakat sehingga dengan fasilitas itu budaya Jawa menjadi terpelihara dan berkembang. Jangan jadikan warga merasa asing terhadap fasilitas tersebut. Akhir kata, semua fasilitas yang dipunyai Kota Solo tidak akan ada gunanya bila kita sendiri tidak mau merawat, menaati fungsinya, dan menghargai keberadaannya.
Selengkapnya...

Selasa, 19 Agustus 2008

Sejarah Singkatnya Solo

Kata Ahli sejarah, awal mula keberadaan Kota Surakarta diawali saat Sunan Pakubuwana II, Raja Mataram Islam saat itu, memerintahkan Tumenggung Honggowongso, Tumenggung Mangkuyudo dan J.A.B. Van Hohendorff untuk mencari lokasi Ibukota yang baru. Dengan segala pertimbangan, maka dipilihlah desa Sala yang kala itu dikepalai seorang bekel Kyai Gede Sala, sesepuh penemu tempat itu. Katanya lagi saat itu Kyai Gede Sala memperoleh ganti sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan [Lombard : III ; 9]. Peristiwa itu terjadi sekitar Tahun 1746 M. Adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 menyebabkan Mataram Islam terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan terpecah lagi dalam perjanjian Salatiga 1767 menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran.
Sementara itu dulu deh............
Kucari dan kuedit semua data di atas dari berbagai sumber, dan aku sudah puyeng nih...
Soalnya aku seorang Sarjana Sains bukan Sarjana Sejarah.
Jadi kalo ada salahnya, mohon maaf dan kritik serta sarannya..
see you....
Selengkapnya...

Kamis, 05 Juni 2008

Solo, Antara Tradisi dan Kemajuan

Kula Nuwun.....
Perkenankanlah saya untuk memperkenalkan diri
He...he.... resmi banget sih??!!!
Alow semua...
Aku seorang asli Solo. Solo atau yang bernama lain Surakarta adalah sebuah kota yang terletak kurang lebih 100 km di sebelah selatan Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah, Semarang.
Solo dikitari oleh Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Klaten, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali
Banyak teman saya dari luar daerah sering bertanya sebenarnya yang benar Solo atau Surakarta sih?
Setahu saya kedua nama itu mengandung cerita sejarah yang lumayan rumit. Itu menurutku, maklum dari dulu aku paling tidak suka dengan pelajaran sejarah. Jadi kalo di antara pembaca kebetulan lebih tahu, tolong dibenarkan ya...(keliatannya berjiwa besar ni orang, belum-belum udah ngakui kekurangan diri).
Penjelasannya cukup singkat Surakarta adalah nama pemerintahan, sedangkan Solo adalah nama aslinya, yang konon adalah nama Kiai yang pertama kali menemukan daerah tersebut.
Solo dikenal sebagai Kota Budaya di Nusantara.
Sementara itu dulu ya..Kalo penasaran tunggu tulisan saya selanjutnya.
Kalo gak penasaran...................Pliss penasaran deh..........ya..?plisss Selengkapnya...