Solo adalah kota budaya. Kota ini terletak di bagian timur Provinsi Jawa Tengah. Komposisi yang multirasial menunjukkan keragaman penduduknya. Namun demikian orang Jawa mendominasi kota ini, sehingga secara bersama-sama mereka nampak menonjol pada tradisi khas budaya Jawa. Pelbagai sebutan disematkan pada Kota Solo antara lain kota batik, kota priyayi, kota langgam dan campur sari, kota wayang Indonesia dan lain-lain. Bahkan akhir-akhir ini disebutkan bahwa Solo adalah the spirit of Java. Terlepas dari pelbagai predikat di atas, sudah saatnya segenap warga Solo memberikan bukti nyata bukan hanya angin lalu atau kabar bohong belaka. Salah satu cara memberi bukti nyata tadi adalah dengan memfungsikan dengan baik dan benar fasilitas-fasilitas Kota Solo dan terlebih lagi memeliharanya.Dari kacamata positif, budaya Jawa yang adi luhung ini akan membentuk karakter orang Solo yang selalu bijaksana, serta cinta sesama dan lingkungan. Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat patembayan. Masyarakat yang memperhatikan pernak-pernik sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu masyarakat Jawa dikenal sifat religiusnya. Kedua sifat tersebut dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan sosial masyarakat, sebagai contoh kegiatan malam 1 Sura, sekaten, sepasaran bayi dan lain-lainnya. Rupanya budaya ini sampai sekarang masih hidup di tengah-tengah praktik kehidupan masyarakat bahkan terpelihara sebagai tradisi wong Solo. Sekarang ini sudah saatnya warga Solo memberi ruang pada tradisi-tradisinya yang adi luhung tersebut, untuk muncul menjadi daya tarik yang khas yang mampu memberi warna tersendiri pada khasanah budaya bangsa Indonesia.Solusi MenarikSaat ini Kota Solo sedang giat menata kota. Gedung-gedung tinggi dan mal-mal tumbuh memenuhi area-area di Kota Solo. Bahkan pasar-pasar tradisional berubah menjadi pasar-pasar modern. Kota Solo berubah menjadi hutan belantara dari gedung-gedung beton. Lambat laun budaya Jawa akan terkikis menjadi budaya metropolis. Kehidupan kota yang angkuh dan kaku akan segera mengganti kehidupan guyub rukun masyarakat Jawa. Bila gedung-gedung beton yang dibangun sekadar mengejar aspek-aspek ekonomi saja atau bahkan demi mengejar prestise semata. Maka alangkah baiknya ada kebijakan Pemkot Surakarta untuk membangun kembali Taman Bale Kambang, Taman Sriwedari, serta yang paling menarik adalah pembangunan City Walk.Pada hakikatnya konsep City Walk menjadi solusi yang menarik dari pelbagai permasalahan masyarakat utamanya masalah terkikisnya budaya Jawa. Alasannya adalah Pertama, City Walk memberi kesan lapang, indah, rapi. Kedua, City Walk memberi ruang yang cukup kepada pejalan kaki, jadi tidak semua ruang dipakai oleh tukang becak dan pedagang kaki lima. Ruang di sepanjang Jalan Slamet Riyadi ternyata banyak digunakan untuk berjualan. Keadaan ini membuat pejalan kaki nyaman dan menambah kesan tertata dan indahnya jalan utama di Kota Solo.Ketiga, City Walk mampu meredam tingkat polusi Kota Surakarta. Memang tampak kolot argumen ini namun sebenarnya tidak, sebab pada kenyataannya polusi udara Kota Solo telah mencapai titik yang rawan juga. Hal ini terasa ketika kita mengendarai sepeda motor mata terasa pedih. Langkah ini sudah ditempuh Pemerintah Provinsi Yogyakarta yaitu menganjurkan para pegawai yang rumahnya berjarak kurang 5 km dari kantor agar berjalan kaki. Tentu saja tindakan ini secara meluas akan menurunkan suhu bumi. Artinya, upaya ini merupakan suatu awal tindakan mencegah global warming.Keempat, salah satu upaya untuk nguri-uri budaya Jawa. Kita tahu banyak tradisi Jawa yang berakar dari jalan kaki. Sebut saja Suronan, banyak warga Solo dan di luar Kota Solo berjalan-jalan sepanjang Slamet Riyadi dan sekitar Keraton Mangkunegaran. Tradisi ini memakan ruang hampir 80% badan jalan. Tentu saja kemacetan lalu lintas akan muncul. Dengan adanya City Walk, hal ini dapat dikurangi.Kesan NegatifNamun demikian keberadaan City Walk harus senantiasa diperbaiki demi kenyamanan, kelancaran, ketertiban dan kemaslahatan bersama. Beberapa hal tentang City Walk memang perlu diperbaiki, antara lain penerangan area City Walk di waktu malam. Seyogianya area City Walk terang pada malam hari sehingga tidak berkesan negatif atau malah dapat dimanfaatkan oleh orang jahat dalam melaksanakan niatnya. PKL dan tukang becak juga harus terus diberi pengertian akan fungsi City Walk. Dari sisi konsep mestinya City Walk tidak dijadikan eksklusif, sebab hal ini justru akan menyebabkan City Walk tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Seharusnyalah fasilitas budaya menjadi milik masyarakat sehingga dengan fasilitas itu budaya Jawa menjadi terpelihara dan berkembang. Jangan jadikan warga merasa asing terhadap fasilitas tersebut. Akhir kata, semua fasilitas yang dipunyai Kota Solo tidak akan ada gunanya bila kita sendiri tidak mau merawat, menaati fungsinya, dan menghargai keberadaannya.
Jumat, 26 September 2008
Solo oh...Solo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar